Sunday, May 3, 2009

Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi di Indonesia

1. PENDAHULUAN

Industri konstruksi dianggap sebagai industri yang “terfragmentasi.” Dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, fungsi-fungsi perancangan, pemasangan, dan operasional dilaksanakan secara terpisah-pisah oleh berbagai pihak yang berbeda. Sejalan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur yang disertai dengan kemajuan teknologi konstruksi, terdapat peningkatan potensi timbulnya perbedaan pemahaman, perselisihan pendapat, maupun pertentangan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kontrak konstruksi. Hal ini seringkali tidak dapat dihindari namun tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi perlu diselesaikan sejak dini secara memuaskan bagi semua pihak. Jika dibiarkan, perselisihan akan bertambah buruk menjadi persengketaan dan berakibat pada penurunan kinerja pelaksanaan konstruksi secara keseluruhan, dalam hal ini akan menimbulkan waste dan menurunkan value yang diharapkan.

2. FAKTOR PENYEBAB SENGKETA

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penyelenggaraan proyek konstruksi sangat besar kemungkinan timbulnya perselisihan/persengketaan (disputes). Mitropoulos dan Howell (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya terdapat tiga akar permasalahan penyebab persengketaan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi yaitu:
1). Adanya faktor ketidakpastian dalam setiap proyek konstruksi
2). Masalah yang berhubungan dengan kontrak konstruksi
3) Perilaku oportunis dari para pihak yang terlibat dalam suatu proyek konstruksi.
Kondisi ideal bagi pelaksana konstruksi adalah apabila seluruh komponen kontrak konstruksi dengan pengguna jasa terinci secara jelas yang tercakup dalam surat perjanjian, syarat umum kontrak, syarat khusus kontrak, spesifikasi teknis, gambar rencana, dan daftar kuantitas (bila ada). Pelaksana konstruksi biasanya berasumsi bahwa seluruh informasi yang ada dalam kontrak sesuai dengan kondisi aktual, namun kondisi proyek yang diketahui selama masa pelaksanaan sering kali tidak sesuai dengan asumsi tersebut. Perbedaan kondisi ini dapat meningkatkan biaya pelaksanaan proyek, termasuk pembayaran kepada pelaksana konstruksi, tergantung kesepakatan yang telah diatur dalam kontrak. Perbedaan kondisi yang sering dijumpai adalah pada aspek kondisi bawah tanah.

Aspek waktu penyelesaian pekerjaan merupakan bagian penting pada suatu kontrak konstruksi, karena pengguna jasa biasanya membutuhkan bangunan konstruksi untuk keperluan tertentu pada waktu yang sudah ditentukan sebelumnya. Banyak hal yang dapatmempengaruhi penyelesaian pekerjaan tetap waktu, misalnya faktor cuaca. Keterlambatan dalam penyelesaian pekerjaan konstruksi yang disebabkan oleh kesalahan pelaksana konstruksi umumnya dapat berakibat pengenaan denda oleh pengguna jasa sesuai dengan lamanya keterlambatan dengan batas maksimal denda tertentu.
Hal lain yang seringkali menjadi penyebab sengketa adalah terjadinya kesalahan/perubahan terhadap rencana/rancangan (design) awal proyek dalam masa pelaksanaan konstruksi. Sesuai dengan karakteristik proyek konstruksi, kesalahan atau perubahan terhadap design awal terkadang tidak dapat dihindarkan walaupun proses perencanaan dan perancangan telah dilakukan secara matang. Di samping perubahan terhadap rancangan awal yang memang perlu dilakukan, pihak pengguna jasa terkadang memutuskan untuk melakukan perubahan pula sesuai dengan kebutuhan yang baru terpikirkan kemudian.
Berbagai faktor potensial penyebab perselisihan dalam penyelenggaraan proyek konstruksi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga aspek yaitu aspek teknis/mutu, aspek waktu, dan aspek biaya seperti dijelaskan dalam Tabel 1. Faktor-faktor penyebab tersebut saling terkait, timbulnya satu faktor dapat menyebabkan timbulnya faktor lainnya.
Tabel 1. Faktor potensial penyebab persengketaan Konstruksi
Kategori aspek penyebab
Faktor-faktor penyebab
1
Aspek teknis/mutu
• faktor perubahan lingkup pekerjaan
• faktor perbedaan kondisi lapangan
• faktor kekurangan material yang sesuai dengan spesifikasi teknis
• faktor keterbatasan peralatan
• faktor kurang jelas atau kurang lengkapnya gambar rencana dan/atau spesifikasi teknis.
2
Aspek waktu
• faktor penundaan waktu pelaksanaan pekerjaan
• faktor percepatan waktu penyelesaian pekerjaan
• faktor keterlambatan waktu penyelesaian pekerjaan
3
Aspek biaya
• faktor penambahan biaya pengadaan sumber daya proyek
• faktor penambahan biaya atas hilangnya produktivitas
• faktor penambahan biaya atas biaya overhead dan keuntungan.
Ketidakpastian sudah merupakan risiko dalam suatu proyek konstruksi, tidak semua hal secara detil dapat ditentukan dengan baik selama proses perencanaan sehingga para pihak yang terlibat harus menyelesaikannya setelah masa pelaksanaan dimulai. Penyusunan dokumen kontrak yang adil bagi semua pihak untuk mengatur hubungan seperti dalam proyek konstruksi yang memiliki sedikit banyak tingkat ketidakpastian menjadi sesuatu yang tidak mudah.

Penggunaan kontrak konstruksi yang standar belum umum dilakukan di Indonesia, apalagi untuk keperluan pengaturan hubungan yang bersifat subkontraktual. Aturan-aturan dalam kontrak yang sulit menghilangkan seluruh “celah” (gaps) seringkali diperparah dengan sifat oportunisnik dari para pelaku yaitu pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Pihak dengan posisi tawar yang lebih tinggi ini bisa dilakoni oleh pemilik, perencana, pengawas, kontraktor, subkontraktor, atau pemasok, tergantung kepada situasi yang dihadapi.
2.1. Metoda Penyelesaian Sengketa
Berbagai cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan proyek konstruksi secara umum di dunia konstruksi internasional dijelaskan oleh Hinze (2000). Di Indonesia, berdasarkan UUJK 18/1999 dan PP 29/2000, terdapat beberapa hal yang masih menyisakan pertanyaan, misalnya ada kesan tumpang tindih dalam hal istilah mediasi dan konsiliasi, serta fungsi mediator dan konsiliator. Istilah-istilah tersebut dibedakan secara tegas definisinya dalam UUJK 18/1999 dan PP 29/2000, namun sebenarnya sering merujuk kepada definisi yang sama dalam istilah yang umum dijumpai dalam penyelesaian sengketa konstruksi.
Hal lain yang agak berbeda adalah dalam hal penyelesaian yang bersifat final dan mengikat pada metoda negosiasi dan mediasi. Dalam penyelesaian sengketa konstruksi yang umum di luar negeri, keputusan hasil negosiasi dan mediasi tidak bersifat mengikat (non-binding), namun lebih berupa upaya informal pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dengan bantuan pihak ketiga yang dianggap netral dan mampu membantu menyamakan pendapat kedua belah pihak terhadap masalah yang disengketakan. Dengan demikian, diperlukannya ”sertifikasi” untuk para negosiator dan mediator dalam tata cara penyelesaian sengketa di Indonesia menjadi tidak terlalu relevan dalam proses penyelesaian sengketa konstruksi yang bersifat informal tersebut. Lebih lanjut, perbandingan antara kerangka penyelesaian sengketa secara umum dengan kerangka penyelesaian sengketa di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Dalam UUJK 18/1999, masalah Penyelesaian Sengketa diatur dalam Pasal 36, dan 37. Di sini dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak, yang dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi.
Selanjutnya, PP 29/2000 menjelaskan masalah Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 54. Yang dimaksud dengan penyelesaian di luar pengadilan adalah: mediasi, konsiliasi, serta arbitrase (baik melalui Lembaga Arbitrase maupun Arbitrase Ad Hoc). Dalam proses mediasi dan konsiliasi, pihak-pihak yang bersengketa dibantu oleh mediator atau konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Proses mediasi dan konsiliasi juga dapat melibatkan penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuai kebutuhan.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa arbitrase dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lain halnya dengan mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi yang belum diatur secara detil, mekanisme proses arbitrase telah memiliki dasar hukum yang jelas. Melalui UU 30/1999 ini, yang mencakup penyelesaian

sengketa untuk seluruh jenis perjanjian (bukan khusus untuk penyelenggaraan konstruksi), dijelaskan hal-hal mengenai arbitrase sebagai berikut: syarat-syarat, arbiter, tata cara, putusan, pelaksanaan/pembatalan putusan, biaya-biaya, dan aturan-aturan lainnya. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (binding) yang kemudian didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan arbitase secara sukarela, maka putusan akan dilaksanakan dengan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pihak yang dirugikan.

3. SENGKETA DALAM TAHAP PELAKSANAAN KONSTRUKSI
Soekirno dkk (2006) melakukan survei terhadap 22 perusahaan kontraktor di kota Bandung dengan pengalaman sengketa konstruksi yang terjadi pada tahap pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dalam kurun waktu Januari 2000 sampai dengan Desember 2005. Perusahaan kontraktor yang disurvey adalah perusahaan kelas Menengah dan Besar, dan mencakup perusahaan Swasta dan BUMN. Responden dianggap cukup berpengalaman dan memiliki kualitas baik dalam memberikan data berkaitan dengan alternatif penyelesaian sengketa dalam pelaksanaan konstruksi. Selain itu, profil responden dapat dikatakan mewakili dan mengenal perusahaan tempat bekerja, sehingga pendataan perusahaan dapat dianggap valid.

Jenis sengketa dikelompokkan menjadi: biaya, waktu, lingkup pekerjaan, dan gabungan dari ketiganya. Hasil survey menunjukkan bahwa jenis sengketa yang paling sering terjadi adalah gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (60%). Jenis sengketa ini sering terjadi saat pelaksanaan konstruksi karena sering terjadinya perubahan perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan konstruksi, yang bagi penyedia jasa (kontraktor) dapat mengakibatkan adanya perubahan biaya pada pelaksanaan pekerjaan dan juga dapat berakibat adanya perubahan waktu pelaksanaan konstruksi. Dalam hal ini, batasan dana (anggaran) yang dimiliki oleh pemilik pada saat pelaksanaan konstruksi juga sangat berpengaruh terhadap terjadinya sengketa.Penyebab sengketa yang sering terjadi berdasarkan hasil survei tersebut adalah kondisi eksternal (26,79%), gambar rencana (21,43%), kondisi lapangan (19,64%) dan spesifikasi teknis (16,07%). Temuan ini sejalan dengan kenyataan bahwa pada tahap pelaksanaan konstruksi bangunan gedung, kinerja kontraktor dipengaruhi oleh perubahan kondisi eksternal, seperti kebijakan pemerintah dalam ekonomi dan fiskal, serta kondisi sosial. Sebagai contoh bila terjadi lonjakan perubahan harga atau biaya baik tenaga kerja, bahan/material, peralatan dll, dapat menyebabkan tersendatnya pelaksanaan pekerjaan di lapangan karena harga kontrak awal yang diajukan oleh penyedia jasa (kontraktor) sangat jauh berbeda dengan harga pada saat pelaksanaan pekerjaan. Agar pekerjaan dapat tetap diselesaikan maka penyedia jasa (kontraktor) akan mengajukan permintaan perubahan kepada pihak pemilik baik perubahan biaya, perubahan waktu maupun gabungan antara perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa). Pada tahun 2005, kondisi ekonomi dalam negeri masih belum stabil, termasuk adanya kenaikan harga dasar bahan bakar minyak (BBM) yang signifikan, mempengaruhi harga-harga bahan dasar material untuk pekerjaan konstruksi dan menyebabkan terjadinya pembengkakan biaya untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi.
Perubahan gambar rencana sering terjadi di lapangan. Gambar rencana berbeda dengan hasil akhir pembangunan sesuai yang diinginkan oleh pihak pemilik. Pada tahap pelaksanaan pembangunan sering pihak pemilik memerintahkan perubahan-perubahan terhadap gambar rencana, yang berakibat pada klaim dari pihak penyedia jasa (kontraktor) berupa permintaan perubahan baik biaya, waktu maupun gabungan antara perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa). Penyebab sengketa lainnya yang mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan adalah kondisi lapangan (kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi topografi, dll), spesifikasi teknis, surat perjanjian kerjasama (kontrak), persyaratan kontrak dan administrasi kontrak.
Pada survey yang sama, juga didiskusikan mengenai cara penyelesaian sengketanya. Jenis penyelesaian sengketa yang sering digunakan dalam sengketa pada tahap pelaksanan pekerjaan konstruksi adalah negosiasi yaitu sekitar 90%. Hal ini dikarenakan jenis penyelesaian negosiasi lebih mudah dan dianggap tidak akan mengganggu jalannya pelaksanaan pekerjaan dan hasil penyelesaian sengketa dapat memuaskan semua pihak yang terlibat dalam kontrak.
Suatu kecenderungan terlihat dari hasil survei ini, bahwa karena kebanyakan proyek yang dikerjakan adalah proyek pemerintah dan dikerjakan oleh perusahaan kualifikasi menengah, maka sengketa yang terjadi sebaiknya diselesaikan dengan jalan negosiasi antar pihak saja. Hal ini sangat terkait dengan kekhawatiran dari pihak kontraktor jika sengketa akan menyebabkan kehilangan pekerjaan yang bersangkutan, karena untuk mendapatkan proyek tersebut relatif sulit. Dengan demikian, bila terjadi sengketa maka perusahaan kontraktor berusaha menyelesaikan dengan negosiasi agar hubungan baik dapat tetap terjaga dan berusaha sebisa mungkin menghindari konflik dengan pihak pemilik. Lembaga arbitrase (BANI, Arbitrase Adhoc) digunakan bila jenis penyelesaian sengketa negosiasi yang telah ditempuh sebelumnya tidak dapat menghasilkan keputusan yang dapat memuaskan semua pihak.
4. PENGEMBANGAN SISTEM ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Sistem alternatif penyelesaian sengketa (APS) dalam penyelenggaraan jasa konstruksi perlu dikembangkan untuk menunjang industri konstruksi yang sehat. Usulan Sistem APS (Soekirno dkk, 2005) mencakup keberadaan Lembaga Arbitrase dan APS, serta suatu pusat informasi dan kajian yang dinamakan PIK-APS (Pusat Informasi dan Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa). Hubungan antar pihak yang terlibat dalam Sistem APS yang diusulakn tersebut mencakup peran Lembaga Arbitrase yang kini telah terbentuk yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya lembaga-lembaga yang lain dalam bidang arbitrase maupun APS.
Organisasi PIK-APS secara struktural sebaiknya berada dalam Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD), yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur perguruan tinggi, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mencari layanan bantuan APS ke salah satu lembaga arbitrase dan APS yang ada. Pihak Perguruan Tinggi dapat berperan baik sebagai penilai ahli, maupun sebagai peneliti pada PIK-APS.

Keberadaan suatu pusat kajian dan informasi sangat diperlukan, dengan demikian perlu dibentuk dengan tujuan: 1). Tersedianya infrastruktur yang baik dan pemahaman yang sama dalam hal penggunaan arbitrase dan APS di industrik konstruksi; 2). Terciptanya lingkungan yang kondusif untuk terbentuknya lembaga arbitrase dan APS di industri konstruksi; 3). Menghindarkan terjadinya perselisihan yang dapat mengurangi nilai dari produk industri konstruksi. Dalam hal ini, fungsi PIK-APS adalah sebagai pusat informasi dan kajian mengenai sistem arbitrase dan APS di bidang konstruksi, dan sebagai alat operasional LPJKD Jawa Barat dalam melaksanakan AD/ART khususnya dalam hal mendorong dan meningkatkan peran arbitrase dan APS.
Misi PIK-APS adalah mencakup: 1). Mempromosikan alternatif penyelesaian sengketa di konstruksi; 2). Menyediakan informasi mengenai prosedur dan proses standard dalam melaksanakan APS; 3). Menyediakan informasi tentang Tenaga Ahli, Mediator, dan Konsiliator yang ada; 4). Membantu pihak yang tersangkut sengketa untuk memilih APS yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan; 5). Melakukan penelitian tentang sengketa, usaha-usaha pencegahan dan APS di konstruksi untuk memperbaiki proses dan prosedur standard yang ada; 6). Mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait dengan APS. Dengan demikian, PIK-APS akan membantu semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi, termasuk lembaga-lembaga arbitrase dan APS.
PIK-APS yang merupakan usaha pengabdian kepada masyarakat Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, ITB, bekerja sama dengan LPJKD Jawa Barat, akan mendapatkan manfaat dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap jenis sengketa, sebab sengketa serta preferensi praktisi konstruksi di Kota Bandung. Hal ini akan terkait dengan sistem APS yang akan dikembangkan agar bermanfaat. Sehubungan dengan hal tersebut, PIK-APS dan LPJKD Jawa Barat disarankan lebih memfokuskan kepada masalah negosiasi dan upaya-upaya pencegahan terjadinya sengketa konstruksi, berupa sosialisasi serta kajian pengembangan standar kontrak, sistem partnering, serta panduan/standar proses pencegahan dan penyelesaian sengketa, dalam pengembangan alternatif penyelesaian sengketa di konstruksi wilayah Jawa Barat. Penelitian-penelitian seperti yang disampaikan dalam makalah ini tentunya harus selalu dilakukan oleh PIK-APS untuk updating yang terjadi di lapangan dan digunakan untuk memperbaiki sistem APS yang telah dikembangkan.






No comments:

Post a Comment